-->

March 10, 2020

Jiwa Gundul - Faiz Zakariya
Faiz Zakaria





Jiwa Gundul





M
inggu pagi itu, di bangku depan rumah aku duduk sembari menikmati sejuknya hawa pagi hari di pedesaan. Tangan kananku memegang sebuah gelas kecil yang berisi air putih sembari melamun dan memikirkan akan indahnya kehidupan yang aku ciptakan sendiri dalam dunia hayalanku. Tiba tiba terdengar sayup sayup suara dari belakangku, suara itu tidaklah asing bagiku aku mengetahui suara itu dan sampailah tepat di sampingku, ternyata itu ibu. Dengan nada keras seakan akan mau menghakimi maling ia berteriak kepadaku, Boncel..!kamu setiap hari kerjanya hanya melamun, berangan angan, menghayal, begitu terus kerjanya mau jadi apa nanti kalau sudah besar ?! apa kamu tidak pernah berusaha buat masa depanmu nanti ? apakah kamu sudah ada jaminan akan menjadi orang sukses ? aku terkejut bukan main seperti orang yang terkena penyakit jantung saat mendengar bunyi petasan. mendengar kalimat seperti itu aku bingung, tidaklah biasa ibuku mengganggu aktifitas menghayalku dan menghakimiku seakan akan aku adalah pengangguran yang sudah menganggur bertahun tahun padahal aku ini masih anak ingusan, bahkan usiaku masih 10 tahun. Hayalan, bermain, itu sungguhlah wajar bagi anak seusiaku bukan.
Sesaat setelah kemarahan yang sangat membingungkan itu berlalu, aku bergegas keluar karena aku tidaklah kuat untuk menghadapi kemarahan kemarahan apalagi yang akan dilontarkan kepadaku nantinya bila aku masih berada dirumah, aku bergegas menuju rumah harfan nur atau yang sering kami panggil dengan panggilan gundul, sahabat baikku, ialah yang selalu menemaniku kemanapun aku pergi dan bermain, gundul adalah seorang anak kecil yang sungguh lugu, dari mulai cara berpakaiannya yang selalu menggunakan kaos dan dengan memakai celana pendek yang ia pakai entah sengaja atau tidak tetapi yang aku lihat selalu ia pakai jauh diatas pusar, model potongan rambut pun tidak kalah jauh kunonya dengan muka yang lugu, sungguh perpaduan yang pas untuk selera orang tua yang mempunyai selera seni tinggi pada masanya, gundul tidaklah gundul ia mempunyai rambut tetapi entah mengapa semua anak di desa kami memanggilnya gundul, padahal yang gundul justru ayahnya.
Di pojok desa terlihat ada sebuah rumah tua nan reot, tetapi masih kokoh berdiri seakan akan menentang dan menyeru perlawanan kepada bangunan bangunan dan rumah rumah yang ada di sekitarnya. Di mulut pintu berdiri seorang lelaki seperti penyambut tamu dalam perhelatan. Ia adalah seorang bapak paruh baya nan gagah yang berkepala botak dan berwajah ambisius layaknya seorang diktator, Bapak nur, sang ayah dari bocah ingusan kecil yang selalu terhianati oleh panggilan Namanya, gundul. Aku melihatnya lalu aku menghampirinya dengan tujuan akan mengajak gundul bermain tentunya, saat sudah didepannya dan bertatap muka dengannya bahkan sebelum aku melontarkan kata secuil pun ia sudah tersenyum padaku, dalam hatiku bertanya tanya ada apakah gerangan tiba tiba ia tersenyum padaku ? aku membuang pikiran itu secepat yang aku bisa tetapi secara alamiah manusia tidaklah bisa benar benar membuang pikirannya bukan? dari senyuman ayah satu anak itu terlihat senyuman yang dipaksakan karena tampak jelas ia sedang cemas, wajahnya yang tegang dengan raut muka gelisah dan keringat bercucur dari sela kepala yang gundul tersebut. Aku memberanikan diri untuk bertanya padanya dan menanyakan dimana si harfan, sungguh tidak etis jika aku menanyakan dengan panggilan gundul. Dengan suara bergetar dan lirih ia menjawab “ada, tetapi ia sedang sakit”. Dan dengan nada putus asa ia mempersilahkanku untuk masuk ke dalam rumah dan aku langsung diarahkan untuk melihat bagaimana keadaan gundul, seketika saat aku melihat gundul sedang terbaring lemas, semua hayalan yang sejak tadi pagi aku bayangkan seketika teralihkan dan berganti dengan pikiran pikiran tentang bocah kecil yang malang tersebut, semua menjadi satu antara bingung aku harus berkata apa, dan sedih karena melihat gundul terbaring lemas, aku tidak bisa berkata apa apa selain hanya mendoakannya yang terbaik, tidak lama kemudian dengan rasa iba dan sedih aku berpamitan untuk pulang.
Aku pulang dengan pikiran kosong, sepanjang jalan hanya melamun sampai sampai aku tidak sadar kalau aku baru saja menabrak seseorang, tiba tiba terdengar suara sumbang perempuan yang amat keras dan sangat dekat di telingaku “Boncel! Matamu dipakai kalau jalan dong!” seketika lamunanku buyar karena mendengar suara tersebut aku baru sadar bahwa yang kutabrak barusan itu adalah Karin temanku, ia sama seperti gundul ia adalah sahabat baikku kita bertiga adalah sahabat yang sangat baik. Di sepanjang jalan aku bercerita tentang keadaan gundul dan ternyata si Karin sudah mengetahui terlebih dahulu dan dia berniat untuk menemuiku untuk memberitahu tentang keadaan gundul tapi untunglah kita sudah bertemu dijalan, sepanjang jalan pikiran kita hanya tertuju pada gundul, apakah ia akan cepat sehat ataukah tidak karena melihat kondisinya yang sangat memperihatinkan. Sesaat aku sudah sampai rumah dan Karin pun sudah pulang karena rumah kita yang sejalan, tiba tiba ibu mendekatiku dan menanyakan dari mana karena aku tadi pergi tidak berpamitan dahulu mungkin ibu cemas, dalam pikiranku mengatakan begitu, belum sempat aku jawab tiba tiba ibu mengatakan bahwa gundul sedang sakit, aku terkejut karena saat aku sampai rumahpun aku belum bicara sepatah kata pun kenapa semua orang seakan sudah tau keadaan tentang gundul, padahal aku yang sahabat dekatnya saja baru tau keadaan gundul tadi, aku menanyakan kepada ibu darimana ia tau tentang gundul, ibuku berkata ia diberi tau dari seorang dokter puskesmas desa yang kebetulan rumahnya bersebelahan dengan kita bahwa ada anak desa kita yang terkena demam berdarah, memang sebelum ini sudah dihimbau untuk menjaga lingkungan sekitar rumah terutama genangan genangan air, bagiku itu hanyalah imbauan dari dokter yang ingin masyarakat lingkungannya bersih tapi ternyata bukan sekedar himbauan untuk menjaga lingkungan agar tetap bersih tapi juga untuk mencegah adanya bibit bibit nyamuk yang menyebabkan demam berdarah, akupun terdiam dan melamun tatapanku kosong dan sialnya pikiranku hari ini sungguh sedang tidak bersahabat, aku yang dari pagi sudah kena marah sama ibu aku pun tidak bias berpikir jernih pikiran negatifku mulai masuk perlahan dan mulai menyebar mengedalikan seluruh tubuhku, tubuhku lemas tidak karuan, aku tidak tahu kenapa sampai berlebihan begini aku memikirkan gundul yang secara garis keturunan pun itu bukan siapa siapaku, dia hanyalah anak kecil lugu yang berhati baik mungkin itulah yang menjadikan aku memikirkannya sampai seperti ini.
 Setelah mengetahui tentang penyakit yang diderita si gundul teman sekaligus sahabat yang sungguh malang tersebut aku segera memberitahu kepada Karin sahabat ku, aku bergegas menemuinya saat aku sudah sampai depan rumah sederhana nan klasik atau lebih gampang digambarkan seperti keraton dalam skala kecil, aku menyelinap masuk di antara tiang tiang kayu yang menjulang tidak beraturan dan mataku terus menatap ke bilik pintu yang sangat tua nan kokoh seakan akan itulah tujuanku, aku disambut hangat oleh seorang perempuan muda nan cantik dengan rambut terurai sepanjang bahu, Ibu Mus, begitu panggilan terhadapnya.
Aku berusaha menemui karin dan aku pun mulai berbincang mengenai apa yang akan dilakukan untuk membuat si gundul dapat sehat seperti sedia kala dan bisa berkumpul lagi Bersama sama, setelah aku dan Karin berbincang dan saling melontarkan pendapat satu sama lain akhirnya kita mendapatkan kesepakatan untuk menemui orang tua gundul dan membujuknya untuk membawa gundul ke puskesmas terdekat, setelah kita menyepakatinya akhirnya aku dan karin langsung bergegas pergi menuju rumah gundul untuk mengutarakan pendapat kita, sama seperti ketika pagi saat aku ke rumah gundul aku dan karina disambut baik oleh bapak Nur, aku langsung menanyakan apakah gundul sudah lebih baik ataukah belum, dan lagi lagi jawaban yang kita terima masih sama seperti saat pagi, aku dan Karin langsung mengutarakan pendapat kita tentang sebaiknya si gundul dibawa ke puskesmas terdekat untuk medapatkan pelayanan dan perawatan yang lebih baik dibanding dengan hanya dirawat di rumah saja, aku mengusulkan dan membujuk kedua orang tua si gundul tetapi karena alasan tidak punya biaya kedua orang tua gundul selalu menolak untuk dibawa ke puskesmas padahal bukan hanya sekali yang menawarkan untuk dibawa ke puskesmas terdekat padahal ada saudaranya yang sudah menawarkan untuk dibawa dengan biaya yang akan ditanggung oleh saudaranya pun dia masih tetap menolak, usut punya usut ayah si gundul pernah mengalami trauma karena waktu kecil pernah sakit dan dirawat di puskesmas sudah beberapa lama ia dirawat tiba tiba hal yang tidak mengenakan terjadi, tempat tidur yang ia tempati tiba tiba mulai bergetar dan seluruh yang ada di ruangan bergetar dan atap atap puskesmas mulai runtuh dan ada salah satu kayu yang hampir saja mengenai ayah gundul, dari peristiwa itu sampai sekarang ayah gundul enggan untuk diajak ke puskesmas walaupun itu untuk kesehatan si gundul sekalipun mungkin dalam pikirannya masih menyimpan rasa trauma yang sangat mendalam hingga saat ini. Setelah aku mengutarakan pendapat dan hanya dibalas dengan kalimat tolakan akhirnya aku dan Karin segera pulang karena aku takut nantinya ayah si gundul akan marah jika aku dan Karin masih tetap disitu.
Sehari setelah aku dan Karin mengutarakan pendapat ke orang tua si gundul dan ditolak aku dan Karin seperti biasa menjalani aktifitas selayaknya anak berumur 10 tahun yaitu sekolah. Aku, Karin dan gundul sekolah di satu sekolahan yang sama, saat bel masuk aku segera bergegas masuk untuk mengikuti pelajaran dan berharap gundul sudah berangkat ke sekolah dan saat namanya dipanggil ia tidak ada, pelajaran tetap di mulai seperti biasa tetapi ada sesuatu yang mengganjal dipikiranku hingga saat ini, bagaimana keadaan gundul, apakah dia sudah sehat ataukah belum, dan ada satu yang sangat mengganjal diantara pikiran pikiran tentang kesehatan gundul yaitu petualangan petualangan yang akan kita lakukan bersama gundul dan Karin apakah akan tetap berlanjut dan bisa terselesaikan ataukah hanya angan angan belaka mengingat saat ini keadaan si gundul sedang tidak sehat, aku selalu memikirkan tentang itu sampai sampai aku tidak tau apa yang sedang disampaikan oleh guru yang sedang mengajar, ah sudahlah yang terpenting sekarang bagaimana agar kita bisa bermain dan berkumpul bersama sama seperti dulu lagi.
Jam 12 siang saat semuanya sudah pulang dan sudah sampai di rumah masing masing aku dan Karin masih di sekolah, masih seperti kemarin ku hanya membahas tentang gundul, lagi dan lagi, entah mengapa aku tidak bisa berhenti mengkhawatirkan kesehatan si gundul mungkin karena dia lah sahabat dan sudah jarang bertemu karena kondisi kesehatannya.
Setelah aku pulang ke rumah aku seperti biasa hanya duduk duduk dan melamun, jam sudah menunjukan pukul 4 sore aku teringat kepada gundul lagi, biasannya ada seseorang yang ke rumah pada jam jam segini untuk mengajak bermain, tetapi hari ini sepi seperti di dalam gua yang hanya dihuni oleh serangga serangga, tidak ada yang datang yang ada hanyalah bunyi decitan kursi kayu yang sudah usang dimakan rayap. Aku terlalu terlena oleh pikiran yang akhir akhir ini menggangguku.
    Tiba tiba, langit menjadi mendung entah karena kebetulan atau memang cuaca hari ini sedang tidak mendukung, rintik rintik hujan mulai jatuh dari langit dan perlahan membasahi semua yang ada diatas tanah desa kecil ini, karena mungkin pikiranku dari awal sudah tidak memikirkan hal yang seharusnya dipikirkan akhirnya aku tidak sadar tertidur, sangat lelap hingga aku melewatkan suatu hal yang mungkin sangat penting bagiku, ada informasi terbaru tentang kesehatan gundul, jam menunjukan pukul 19:10 aku dibangukan secara paksa oleh ibuku, aku yang setengah sadar tidak tau apa yang sedang dibicarakan ibuku ke aku, aku bertanya pada ibu
“bu, apa yang ibu tadi katakan ? aku tidak mendengar” kataku..
Dengan suara berat dan bergetar setengah tidak percaya seakan akan ada hal penting yang sangat mengganjal baginya, lalu ia mengatakan padaku
 “boncel, temanmu si harfan meninggal tadi pukul 19:00 waktu kamu masih tidur, kamu juga tadi mengigau berteriak seakan akan ada yang tidak rela kau lepas, apa yang kamu mimpikan ?”
Aku terdiam seakan tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh ibuku, aku saat itu hanya menganggap candaan kata kata ibuku, saat aku sedang terpaku terdiam dan setengah sadar ada suara decitan pintu yang sangat mengagetkanku samar samar ada sosok perempuan kecil yang terlihat, perlahan mulai jelas sosok itu, itu Karin sahabatku, ia tepat didepanku dengan wajah yang begitu gugup seakan akan ia sedang dikejar oleh begal dan keringat mulai mengucur diantara rambut hitamnya. Ia mengatakan hal yang sama seperti ibuku mengatakan padaku, dengan nada yang sangat gugup dengan muka yang diselimuti kebingungan, ia mengatakannya kepadaku hal yang sama itu.
Aku yang makin terdiam oleh kata kata yang dilontarkan oleh ibuku dan Karin tiba tiba tanpa sadar tanganku di pegang dan ditarik sekuat tenaga oleh Karin hingga aku hampir jatuh tersungkur, aku dibawanya kerumah gundul. Aku sudah berdiri di depan rumah gundul dengan kaki yang sangat bergetar dan tatapan kosong yang mengungkapkan rasa tidak percaya, perlahan Karin mulai mengajakku untuk masuk, aku berjalan menuju pintu depan rumah yang dibuka lebar seakan akan mempersilahkan siapa saja untuk masuk, aku melangkah dengan tenaga yang sangat terkuras seakan aku telah berlari menempuh puluhan kilometer, diantara kerumunan orang orang yang semuanya memasang muka melas aku menyelinap masuk dan aku melihat sosok anak kecil lugu yang terbujur kaku, aku langsung disambut tangisan oleh kedua orang tua gundul, ibunya yang sedikit tua itu sungguh terlihat melas wajahnya, bapaknya yang gundul menangis sejadi jadinya karena anak semata wayangnya sudah tidak ada, ia memegang erat tanganku dan merangkulku, sangat erat sampai sampai aku sulit untuk bernafas, aku yang tidak tahu akan berbuat apa aku hanya diam saat dirangkul olehnya, dalam kebingungan itu aku mendengar suara bisikan samar yang tepat ada di telingaku,
“maafkan harfan ya nak” begitu katanya..
Aku yang saat itu sedang dalam kondisi bingung tanpa sadar air mataku menetes mendengar kata itu, dengan suara yang sangat bergetar aku membalas bisikannya.
“bapak yang sabar ya, harfan itu anak yang baik” bisikku..
Tangisan ayah harfan makin menjadi saat mendengar bisikanku, ia melepaskan dekapannya terhadapku dan ia mengarahkanku untuk melihat lebih dekat dengan jenazah si bocah kecil yang sangat malang tersebut, air mataku makin mengucur deras saat aku melihat dengan jelas wajah si bocah malang tersebut dengan senyuman yang masih melekat dalam tidur panjangnya, ia seakan akan mengatakan jika dia baik baik saja di sana dan ia seolah olah menyampaikan agar semua yang ditinggalkannya jangan meratapi kesedihannya.
Aku dan Karin menunggu sampai dikebumikan jenazah si bocah malang tersebut, saat aku dan semua orang yang hadir disitu ikut mengantar ke tempat istirahat terakhirnya sepanjang jalan hanya rasa sedih dan iba yang mengantarnya sampai tempat pemakamannya, aku melihat kedua orang tuanya yang sangat menyayangi seorang bocah yang sangat lugu tersebut menangis sejadi jadinya saat bocah kecil malang tersebut di tempatkan di liang lahat, semua tangis kesedihan yang ada di tubuh manusia gagah itu pecah seketika saat tanah mulai menutupi jenazahnya, belum pernah aku melihat ia sekehilangan ini, setelah semua prosesi pemakaman tersebut telah terselesaikan aku, karin dan semua pulang ke rumah duka, tiba tiba dari belakangku ada yang menepuk bahuku dan ternyata itu ayah si harfan, ia mengatakan bahwa si harfan saat belum menjemput ajalnya ia menitipkan secuil surat untukku dan Karin.
Saat aku sudah sampai rumah duka aku dan Karin diajak untuk masuk. Dan ayah harfan dengan mata yang masih sembab karena menangis terus terusan ia menyerahkan secuil kertas padaku, aku membukannya dan membacanya dengan tulisan yang sangat ala kadarnya aku mencoba untuk memahami setiap kata yang ia tulis.

Untuk dua sahabatku, boncel dan Karin..
Aku mohon kalian berdua jangan bersedih saat membaca tulisan ini, aku tidak apa apa, aku baik baik saja disini, ini hanyalah tidur Panjang yang semua orang akan rasakan nantinya.
Aku sangat bersyukur pernah bertemu dan kenal baik dengan kalian berdua, aku tidak akan menulis ini dengan Panjang lebar, aku hanya ingin kalian tersenyum saat membaca tulisan ini, Aku harfan, pamit undur diri dari semua kegiatan petualangan mu yang akan datang.. jangan bersedih karena aku masih hidup, jiwaku masih dan akan terus melekat padamu dan Karin. Aku meminta maaf tidak bisa menemanimu dalam petualangan petualangan selanjutnya, aku mohon jangan tangisi kepergianku, aku masih disini dan aku akan tetap bersama kalian berdua saat sedang melakukan petualangan, aku akan hidup di jiwa kalian sampai kapan pun, terima kasih.
Salam, Harfan.





It's simple.
i loved to read what i want.
So, i write what i want to read.

0 comments:

Post a Comment

Start Work With Me

Contact Us
Musa BA
+62 857-359-86036
Cilacap, Indonesia